Ushul Fikih Integratif-Humanis:
Sebuah Rekonstruksi Metodologis
By Shofiyullah Mz.
- Iftitah
Tidak diragukan lagi bahwa metodologi ushul fikih memiliki keluasaan dan standar yang beragam sesuai dengan jenis persoalan yang ditinjau. Ada persoalan hukum fikih yang berhubungan dengan ritual ibadah shalat, puasa, zakat dan haji. Namun karena penjelasan nash demikian banyak dan detail sehingga ijtihad tidak bisa memasuki wilayah ini. Pemahaman ahli fikih hanya sekadar menghimpun berbagai nash itu dan menghubungkan dengan nash lain sehingga membentuk gambaran utuh tentang ibadah. Dengan demikian, persoalan ushul fikih hanya berkisar pada persoalan interpretasi nash dengan mempergunakan konsep-konsep dalam prinsip ilmu tafsir seperti mengkaji makna umum dan khusus, kontradiksi (ta`ārudl), dalil isyarat, mafhum mukhālafah dan lain sebagainya.
Secara umum, kajian ushul fikih juga tidak terlepas dari gambaran di atas, banyak berkutat pada wilayah privat dan domestik seperti perkawinan, waris, hak dan kewajiban suami-isteri, perlakuan terhadap jenazah, selain yang bersifat ritual seperti tata cara ibadah beserta syarat dan rukunnya, hal-hal yang membatalkan, tatakrama beribadah dan lain sebagainya. Untuk wilayah publik konemporer tidak terlalu banyak disentuh oleh literatur ushul fikih klasik yang ada selama ini seperti bagaimana kebijakan fiskal dan moneter, ekspor-impor, etika dan ketentuan bergaul dalam masyarakat multikultur dan multirelijius, pemanfaatan sarana informasi teknologi dalam ibadah, menangkal kejahatan berbasis cyber crime, bom bunuh diri ala teroris yang diyakini sebagai jihad fi sabilillah, isu HAM dan gender, traficking, kapitalisasi ekonomi, bentuk ketaatan terhadap ulil amri dalam konteks sistem pemerintahan modern yang sekuler dan lain sebagainya. Semuanya menjadi tidak banyak disentuh dan dibahas dikarenakan memerlukan energi dan keberanian yang luar biasa untuk tidak sekedar merangkai nash dan nash yang tersedia dengan tanpa mempergunakan berbagai disiplin keilmuan yang lain kedalamnya, baik social and natural sciencies ataupun humanities yang selama ini dianggap berada di luar wilayah ulum al-din dan bersifat mubah hukumnya untuk mengetahui atau sekedar mempelajarinya.
Kebutuhan akan kerangka metodologi baru yang mempergunakan pendekatan integratif-interkonektif dengan berbagai entitas disiplin keilmuan ‘sekuler’ menjadi yang tidak bisa dihindari oleh ushul fikih apabila tetap menghendaki bisa survive dalam merespon setiap persoalan sosial kemasyarakatan yang berkembang demikian dinamis dan akseleratif ini agar ushul fikih tetap sesuai dengan jargonnya, alhukm yadūru ma`a illatihi wujūdan wa adaman sehingga bisa tetap shālih likulli zamān wa makān.
B. Ushul fikih dalam Islamic Studies
Dalam sejarahnya, ushul fikih lahir bersamaan dengan pertumbuhan dan dinamika cabang-cabang ilmu Islam lainnya yang memiliki karakter historis yang berbeda-beda. Dalam babak puncak pertumbuhannya eksistensi ushul fikih ini telah memposisikan hukum Islam (fikih) sebagai disiplin ilmu yang sangat terhormat dan dominan jika dibandingkan dengan cabang-cabang ilmu lainnya. Namun demikian, munculnya ilmu ushul bukanlah sama sekali a-historis atau lahir begitu saja tanpa terkait dengan back-ground historis pada zamannya. Sementara teori umum mengatakan bahwa lahirnya sebuah pemikiran selalu berbanding lurus dengan kondisi zamannya. Teori-teori ushul fikih yang muncul sejak zaman Sahabat pada dasarnya merupakan jawaban terhadap persoalan-persoalan hukum yang muncul pada saatnya. Sehingga metode ijtihad yang diterapkan oleh generasi pertama umat Islam tersebut merupakan fenomena sejarah yang kemunculannya secara “natural” belum merujuk kepada sumber teori yang baku. Karena memang pada periode itu ushul fikih belum menjadi disiplin ilmu yang mandiri dan mempunyai landasan epistemologi yang kokoh.
Several contemporary Muslim thinkers, including the late Fazlur Rahman, Muhammed Arkoun, Hassan Hanafi, Muhammad Shahrur, Abdullahi Ahmed al-Na`im, Riffat Hassan and Fatima Mernisi draw our attention to the academic paradigms of fiqh (Islamic jurisprudence) and kalam (Islamic theology). Fiqh, and Kalam in the same time with its implications for the perspectives and social institutions within Islamic life, is considered too rigid, and accordingly not responsive enough to the challenges and demands posed by modern life, especially in matters connected to hudud, human rights, public law, women, environment and views about non-Muslims. Although the door to interpretation (ijtihad) has been opened—and many also believe that in fact it was never closed, it still remains `ulum al-din, and especially the sciences of fiqh and kalam still do not dare to approach, let lone enter that door that is always open. Explicitly, the science of fiqh, which influences the perspective and social order of institutions in Muslim societies, holds back from touching on or entering into dialogue with the new sciences that appeared in the 18th and 19th centuries like anthropology, sociology, cultural studies, psychology, philosophy and so on.
[terjemahannya kira-kira] Beberapa pemikir muslim kontemporer, sebut saja diantaranya Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Muhammad Shahrur, Abdullah Ahmed Na al-Na’im, Riffat Hasan, Fatima Mernissi menyorot secara tajam paradigma keilmuan Islamic Studies, khususnya paradigma keilmuan fikih. Fikih dan Kalam secara bersamaan implikasinya pada pranata sosial dalam Islam dianggapnya terlalu kaku sehingga kurang responsif terhadap tantangan dan tuntutan perkembangan zaman, khususnya dalam hal-hal yang terkait dengan persoalan-persoalan hudud, hak-hak asasi manusia, hukum publik, wanita, lingkungan dan pandangan non muslim. Meskipun ijtihad telah dibuka– banyak juga yang berpendapat bahwa sebenarnya pintu ijtihad tidak pernah ditutup– tetapi tetap saja ‘ulum al-din, khususnya ilmu Syari’ah atau ilmu-ilmu fikih tidak dan belum berani mendekati, apalagi memasuki pintu yang selalu terbuka tersebut. Tegasnya, ilmu-ilmu fikih yang berimplikasi pada tatanan pranata sosial dalam masyarakat muslim belum berani dan selalu menahan diri untuk bersentuhan dan berdialog langsung dengan ilmu-ilmu baru yang muncul pada abad ke 18-19, seperti antropologi, sosiologi, budaya, psikologi, filsafat dan seterusnya.
[terjemahannya kira-kira] Adalah benar untuk dikatakan bahwa sejak masa awal Islam, contoh-contoh yang diberikan Nabi dan para Sahabatnya dan juga ketentuan-ketentuan al-Qur`an telah membentuk dasal-dasar yang akhirnya melahirkan budaya hukum Islam yang spesifik. Namun, setelah berkembangnya kitab-kitab fikih dan budaya hukum yang bersifat teknis dengan bahasa, simbol, dan struktur yang khusus, hukum Islam menjadi wakil dari sebuah institusi yang mapan. Pada abad keempat/kesepuluh, otoritas Nabi terwujud secara tegas dan kokoh dalam konsep hukum Islam dan para penjaganya, yaitu fuqaha!
C. Rekonstruksi Metodologis: Integrasi-Interkoneksi
Rekonstruksi dimaksud sebagai upaya penyempurnaan atas berbagai space kosong yang belum dijamah oleh para muallif min a`immat al-mazahib. Meminjam terminologi Arkoun, space kosong itu bisa masuk kategori yang belum terfikirkan (not yet thought) atau bisa juga masuk wilayah yang tak terfikirkan (unthinkable) pada masa itu. Sebagaimana dimaklumi, ushul fikih sebagai mesin produksi fiqh selalu berdialektika dengan problem kekinian dan kedisinian. Jadi sangat bisa dimaklumi kalau hasil kinerja ushul fikih bersifat lokal dan temporal. Yang justru tidak bisa dinalar adalah ketika ada klaim yang menyatakan sebaliknya. Ushul fikih adalah rumusan yang final dan sempurna. Dua kata (final dan sempurna) yang dalam dunia keilmuan dikenal sebagai penyakit atau virus yang mematikan. Final dan sempurna tidak akan pernah melekat dan menempel pada sesuatu yang tidak sempurna. Final dan sempurna hanya dimiliki oleh Yang Maha Final dan Maha Sempurna. Dus, manusia dengan segala produk dan kreasi (human construct and creation) yang lahir darinya tidak akan pernah sampai pada tingkat final dan sempurna ilā yaūm al-qiyāmah karena Tuhan tidak akan pernah ridla diserupakan dengan makhlukNya, laisa kamişlihi syai`un fi al-ard wa la fi al-samā.
Sebelum menuju pada pembahasan rekonstruksi metodologis dengan pendekatan integratif-interkonektif, menarik untuk kembali mengutip tulisan Amin Abdullah sehubungan dengan keraguannya akan kemampuan para dosen dilingkungan Departemen Agama sebagai pemegang ujung tombak keilmuan di kampus dalam menganalisa dan memahami asumsi-asumsi dasar dan kerangka teori yang digunakan oleh bangunan keilmuan yang diajarkan (dirāsat islāmiyah, islamic studies) serta implikasi dan konsewensinya pada wilayah praksis sosial-keagamaan. Berikut kutipannya:
[Terjemahannya kira-kira] Terus terang saya pribadi agak ragu apakah semua dosen yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman di UIN, IAIN ataupun STAIN di Indonesia atau pada lembaga pembelajaran Islam di seluruh dunia muslim memahami dengan baik persoalan yang amat fundamental. Jangan-jangan mereka mengajarkan cabang-cabang keilmuan Islamic Studies (Dirasat Islamiyah), yang mungkin saja sudah sangat mendetail, tetapi terlepas begitu saja dan kurang begitu memahami asumsi-asumsi dasar dan kerangka teori yang digunakan oleh bangunan keilmuan tersebut serta implikasi dan konsewensinya pada wilayah praksis sosial-keagamaan. Apalagi, sampai mampu melakukan perbandingan antara berbagai sistem epistemologi pemikiran keagamaan Islam dan melakukan kritik terhadap bangunan keilmuan yang biasa diajarkan untuk maksud pengembangan lebih jauh. Belum lagi kemampuan menghubungkan asumsi dasar, kerangka teori, paradigma, metodologi serta epistemologi yang dimiliki oleh satu dispilin ilmu dan disiplin ilmu yang lain untuk memperluas horizon dan cakwrawala analisis keilmuan.
Keraguan Amin di atas bisa difahami mengingat pola relasi keilmuan yang ada selama ini masih menganut faham single entity. Faham ini mengklaim bahwa bangunan keilmuan yang dimiliki diyakini sebagai yang bisa menyelesaikan seluruh problem kemanusiaan. Self sufficiency ini menyebabkan lahirnya cara pandang tunggal dan sempit (narrowmindedness) yang berakibat pada sikap fanatisme partikularitas keilmuan. Paradigma berfikir yang demikian sebagai cerminan dari arogansi intelektual dan ini dalam konteks ajaran agama sudah masuk dalam kategori min al-āfāt al-‘ilmi, virusnya ilmu.
Para ilmuan pendukung budaya keilmuan yang bersumber pada teks (hadlārah al-nash) tidak menyadari dan tidak mau peduli bahwa di luar entitas keilmuan mereka, ada entitas keilmuan lain yang bersifat praksis aplikatif yang faktual-historis-empiris sehingga bersentuhan secara langsung dengan realitas problem kemanusiaan (hadlārah al-‘ilm) seperti social sciences, natural sciences dan humanities. Selain entitas hadlārah al-‘ilm, masih ada lagi entitas etik filosofis (hadlārah al-falsafah). Ketiga entitas itu seharusnya saling bertegur sapa, tidak berdiri sendiri karena tidak ada satu disiplin keilmuan yang tidak terkait dengan disiplin keilmuan lainnya. Ilmu fiqh sebagai contoh, membutuhkan dukungan biologi dan laboratoriumnya ketika membahas fiqh al-haid, begitu juga ketika mau melakukan ru`yah al-hilal atau menghitung harta waris memerlukan bantuan astronomi dan ilmu hitung semisal matematika atau akuntansi. Demikian juga dengan tafsir, hadis, kalam dan lainnya. Begitu sebaliknya, ilmu-ilmu yang selama ini masuk kategori ‘sekuler’ juga membutuhkan muatan nilai-nilai moral keagamaan di dalamnya.
Having raised the question of international relations, politics, and economics, that does not mean that scholars of religion must become economists or political scientists. However, the study of religion will suffer if its insights do not take cognizance of how the discourses of politics, economics, and culture impact on the performance of religion and vice-versa.
[Terjemahannya kira-kira] Setelah mengungkap berbagai persolan hubungan internasional, politik, ekonomi, hal demikian tidak berarti bahwa ilmuan dan ahli-ahli agama (termasuk di dalamnya ahli-hali ilmu keislaman) harus juga menjadi ahli ekonomi atau politik. Namun, demikian studi agama akan mengalami kesulitan berat-untuk tidak menyebutnya menderita jika pandangan-pandangan tidak menyadari dan berkembang dalam politik, ekonomi, dan budaya berpengaruh terhadap penampilan dan perilaku keagamaan, begitu juga sebaliknya.
D. Ushul Fikih Integratif-Humanis
Formula ushul fikih integratif-humanis ini dimaksud sebagai produk dari ushul fikih yang telah mempergunakan pendekatan integrasi-interkoneksi. Sebuah bangunan ushul fikih yang telah melakukan sejumlah perubahan dan perbaikan sekaligus pembenahan pada dua aras sekaligus, mujtahid dan metodologis. Pada wilayah mujtahid, penulis setuju dengan 5 prasyarat yang ditentukan oleh Khaled, yaitu:
- Kejujuran (honesty)
- Kesungguhan (diligence)
- Mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait (comprehensiveness)
- Mendahulukan tindakan yang masuk akal (reasonablness)
- Kontrol dan kendali diri (self restraint).
6. Berada di luar kepentingan politik praktis (independent)
Sementara pada ranah metodologis berbagai bentuk yang harus dirombak adalah soal definisi, penempatan dan strategi. Dengan mempergunakan pendekatan integrasi dan interkoneksi, ushul fikih dalam proses istinbāth yang melakukan operasi pada empat wilayah kajian, yaitu ta’shil (mencari originalitas teks) dan ta’wil (mencari originalitas makna) jelas-jelas membutuhkan bantuan keilmuan ‘sekuler’ seperti hermeneutika, semiotika, filologi, linguistik dan epistemologi. Sementara pada proses tatbiq (mewujudkan mashlahah) dan tarjih (mencari pilihan yang terbaik dan rasional) peran dan bantuan dari sosiologi, antropologi, filsafat, etika, politik, ekonomi dan ilmu-ilmu kemanusiaan lainnya memegang andil yang signifikan.
E. Ikhtitam
Demikian ijtihad yang bisa dilakukan oleh penulis hingga saat ini, meski sebatas talwis tidak substantif apalagi dekonstruktif, minimal tulisan ini diharapkan bisa menjadi lecutan bagi kepekaan intelektual kita semua untuk ikut aktif terlibat dalam penciptaan lapangan ijtihad bagi para pengangguran intelektual yang akhir-akhir ini semakin banyak bergentayangan dengan berbagai bentuk, corak dan rupa demi tsamanan qalilā, na`udzubillah.
Selanjutnya meski ada rambu-rambu moral, al-ijtihad la yunqadu bil ijtihad, tapi penulis sangat berharap terhadap kedermawanan pembaca untuk mendermakan secuil kritiknya bagi tulisan ini dalam rangka tawāshau bil haq. Sekian, mohon maaf dan semoga bermanfaat, amin. Wassalam.
Grya Gaten, 30 Maret 2007
Daftar pustaka
Abd Hamid Abu Sulaiman, Towards an Islamic Theory of International Relations: New Direction for Methodology and Thought (Herndon-Virginia: IIIT, 1415/1993)
Ebrahim Moosa, “Introduction” dalam Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism (Oxford: Oneworld Publication, 2000)
George Makdisi, Religion, Law and Learning in Classical Islam (Hampshire: Variorum, 1991).
Hassan Hanafi, Dirasat Islamiyah (Kairo: Maktabah al-Anjilo, t.t).
Ibrahim Hosen, “Memecahkan Persoalan Hukum Baru” dalam Jalaluddin Rahmat (ed.), Ijtihad dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1988)
Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law, (Pakistan: Islamic Research Institute and International Institute of Islamic Thought, 1945)
Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women (Oxford: Oneworld Publications, 2003).
Mahmud Arif, “Epistemologi Pendidikan Islam: Kajian atas Nalar Masa Keemasan Islam dan Implikasinya di Indonesia” Disertasi tidak diterbitkan (Yogyakarta: PPs UIN Sunan Kalijaga, 2006).
———————, Bunyah al-Aql al-Araby: Dirāasah Tahliliyah Naqdiyah li al-Nudzūm al-Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyah (Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyah, 1990).
M. Amin Abdullah, “Kata Pengantar” pada Islamic Studies di Perguruan Tinggi:Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)
—————–, Islamic Studies, Humanities and Social Sciences: An Integrated-Interconected Perspective, makalah dalam diskusi CRCS-UGM-MYIA di Gedung Pasca UGM pada 18 Desember 2006.
Muhammed Arkoun, al-Fikr al-Ushuli wa Istihalat al-Ta’shil, Nahwa Tarikhin Akbar li al-Fikr al-Islami (Tt: Dar al-Saqi, 1999).
—————-, Pemikiran Arab, terj. Yudian W. Asmin (Yogyakarta: PMI-Pustaka Pelajar, 1996).
—————, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, alih bahasa Rahayu S. Hidayat, (Jakarta: INIS, 1994).
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasat fi Ulum al-Qur’an (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-Arabi, cet. V, 2000).
Nurcholis Madjid, “Tradisi Syarah dan Hasyiyah Dalam Fikih dan Masalah Stagnasi Pemikiran Hukum Islam” dalam Budy Munawar Rahman, KontekstualisasaiDoktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995)
Subhi al-Salih, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, cet. 9 (Beirut: Dār al-‘Ilm li al-Malāyin, 1977)
—————–, ‘Ulum al-Hadis wa Mustalahuh, cet. 9 (Beirut:Dār al-‘Ilm li al-Malāyin,1977)
Tim Penyusun, Mengenal Istilah dan Rumus Fuqaha’ (Kediri: Madrasah ”Hidayatul Mubtadi-ien”, 1997)
Riwayat Hidup
Nama : Shofiyullah Mz., M.Ag
Tmp., tgl lahir : Bangkalan, 28 Mei 1971
NIP : 150299964
Pangkat/Gol : Lektor/III C
Unit Kerja : Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
AlamatRumah : Jl. Manggis 62A Rt.06/28 Gaten CC Depok Sleman
Tlp./Hp : 08122716894
Riwayat Penelitian :
1. Pemikiran Hukum Prof. Ibrahim Hosen, bersama Drs.H. Muhadi, Lc., M.Ag., UII Yogyakarta, 2002.
2. Gerakan Muhammadiyah di tengah Pluralitas Islam Yogyakarta, Kelompok, Depag RI, 2005-2006
3. Interaksi antara Islam dan Budaya Jawa dalam Organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta, Kelompok, Lemlit UIN Sunan Kalijaga, 2005
Riwayat Pelatihan/Kursus:
1. Pelatihan Penelitian bagi Tenaga Edukatif, Puslit IAIN Sunan Kalijaga, 2001
2. Gender Awareness Training (GAT), PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2002
3. Daurah al-Lughah al-Arabiyah lil Mudarrisin, UIN Sunan Kalijaga, 2005
4. Short English Course, Pusat Bahasa UIN Sunan Kalijaga, 2005
Karya Terjemahan:
1. Panduan Moral Bagi Anak Bangsa (Idhotun Nasyi`in) karya Mustofa al-Gholayini) (Yogyakarta:Aziziah, Januari 2004)
2. Fiqh Minoritas (Nahw Fiqh Jadid lil Aqalliat) karya Jamaluddin Athiyah, (Bandung: Pustaka Cendekia, 2006)
Karya Buku:
1. 99 Kyai Pesantren Riwayat, Karya dan Perjuangan (I-II); bersama dengan KH.Abd. Aziz Masyhuri (Yogyakarta: Kutub, 2006)
2. “Quo Vadis Kebebasan Beragama?” dalam Kebebasan (Jogja:BEM AF-Pilar Media, 2006)
3. Memandang Ulama Secara Rasional (Yogykarta: Kutub, 2006).
0 Komentar